“ Lo tega banget sih? Ini gak
bisa dibiarin. Heh, gue gak mau tau ya, PR gue harus lo selesein semua.”
Suara
klakson motor terdengar dari dalam rumah. Beberapa detik kemudian, suara
klakson itu lenyap, menandakan motor sudah menjauh dari rumah. Rani hanya bisa
menghela nafas panjang. Ia segera merapikan buku – bukunya dan beranjak pulang.
Semburat
merah tampak di ufuk barat. Sebentar lagi, sang raja siang akan beristirahat.
Angin berhembus sejuk, gemuruh ombak menjadi melodi yang khas. Rama menghentikan
langkahnya di bibir pantai. Matanya yang bening menerawang jauh kedepan.
“Tuhan,
ini semua gak bakal terjadi kalo dua orang tua itu gak maksa aku buat jadi kayak
mereka. Tuhan, apa aku gak boleh bahagia dengan pilihanku sendiri? Kenapa
masalah ini begitu beruntun? Dan kenapa kau kirimkan si robot yang sok jenius
itu dalam hidupku? Ini gak adil. Aarrrghh...”, Rama menendang gundukan pasir
putih di hadapannya. Beberapa menit ia mematung di situ sebelum akhirnya
kembali pulang.
“Dari
mana aja kamu, heh? Dasar anak gak bisa diatur. Gimana kamu mau jadi dokter
kalo kelakuanmu seperti ini?”, terdengar omelan mama saat Rama melangkah
kedalam rumah. Bagi Rama, ini tak ubahnya seperti suara petasan saat
penyambutan tamu. Entahlah, ia segera menuju kamar. Di tuangkannya segala
emosinya dalam sebuah lukisan. Lukisan tentang seorang anak yang tengah duduk
merenung di pinggir sungai.
***
Seperti biasa, sore ini Rama harus les
privat dengan Rani. Hal yang sangat membosankan bagi Rama.
“Soal sebanyak ini harus gue kerjain?
Gila lo!”
“Yap. Besok lo ulangan biologi kan?.”,
jawabnya ringan. Ia kembali meneruskan membaca buku biologinya yang tebel
banget.
Kalo
aja dulu mama gak ketemu lo, pasti gak gini jadinya. Huh, kenapa juga waktu itu
lo dateng ke ruang BK ? Gara – gara lo hidup gue jadi gini. Dasar robot. Bisa
gak sih lo gak bikin gue stress sama soal – soal ini? Emang lo siapa sih?
Rama menggerutu dalam hati. Di lihatnya
wajah Rani lekat – lekat. “Eh, mana PR gue? Udah lo kerjain semua kan?”,
tanyanya.
“Nggak.”, jawabnya singkat.
“Apa? itu PR buat besok. Duh, lo...lo
nyebelin. Siapa sih lo? Enak banget liat gue menderita? Ya...mungkin karena lo
itu...”, belum selesai Rama bicara, tapi Rani buru – buru membereskan buku –
bukunya dan bangkit dari tempat duduknya.
“Mau kemana lo?”, tanya Rama.
“Aku mau pulang. Kamu memang gak suka
kan, kalo aku disini? Permisi.”
Ditinggalkannya Rama sendiri di ruang
tamu tempat mereka belajar. Rama hanya
bisa melongo. 50 soal biologi dihadapannya. Baru lima yang berhasil ia kerjakan.
Bagaimana mugkin ia bisa mengerjakan semuanya? Dimasukkannya soal itu kedalam
mapnya. Segera ia beranjak keluar ruang tamu. Tapi tiba – tiba langkahnya
terhenti. Matanya tertuju pada kertas berwarna putih yang tergeletak di dekat
pintu. Di ambilnya kertas itu. Deretan huruf dan gambar memenuhi kertas itu.
“Pembahasan Soal? Jawaban PR?”, tanya
Rama. Ia pun kembali duduk dan membuka kembali buku – bukunya tadi.
***
“Ram, cukup. Melukis gak akan bikin kamu
pinter. Buang – buang waktu aja. Kamu harusnya belajar. Mana Rani? Kok kemarin
dia pulang cepet banget? Jangan – jangan kamu ngusir dia ya?”, kata mama panjag
lebar. Sementara Rama hanya terus meneruskan lukisannya.
“Rama...stop. Kuas sama cat mama sita.
Mama gak mau tau, kamu harus bisa dapet nilai bagus biar kamu bisa masuk ke
kedokteran.” Rama beranjak dari tempat duduknya dan menatap mamanya lekat –
lekat.
“Oke. Biar mama puas.”, kata Rama sambil
merobek kanvasnya.
***
Tiga hari Rani tak kerumah Rama. Hal ini
tentu membuat Rama bahagia. Tak ada lagi yang membuatnya stress dengan soal –
soal itu. Bebannya sedikit ringan. Tapi benarkah?
Diam – diam Rama mulai terbiasa
menghadapi soal – soal yang dulu menurutnya sangat sulit. Berkat berlatih soal,
ia berhasil mendapat nilai bagus waktu ulangan biologi beberapa hari lalu. PR
nya juga telah diselesaikan Rani dengan baik, sehingga Rama pun terhindar dari
omelan guru. Ia kangen les privat. Ia mengambil handphonenya yang tergeletak di
meja.
“Ran, ini Rama. Gue mau les sekarang.
Cepet dateng kerumah.”, kata Rama. Ia pun meletakkan kembali handphonenya di
meja.
Tak sampai 5 menit, Rani sudah berada di
rumah Rama.
“Loh, kok cepet banget? Masuk Ran, gue
ambil buku dulu.”
Kali ini Rama cukup bersemangat belajar.
Ia tak lagi banyak protes. Ia mulai bisa menikmati suasana belajarnya.
***
“Ran, kenapa beberapa hari kemarin kamu gak kesini?
Terus waktu hujan sore itu kamu pulan cepet banget?”, tanya mama Rama.
“Maaf
Tan, Rani harus buru – buru pulang soalnya mama sakit, jadi banyak kerjaan di
rumah yang harus diselesaikan. Tapi Rani akan lunasi utang – utang Rani di hari
lain. Sekali lagi maaf Tante.”, kata
Rani.
“Ya
sudah, gak papa. Tante kira Rama ngusir kamu. Makasih ya Ran, semoga mama kamu
segera sembuh.”, ucap mama Rama. Rani dan mama Rama pun mengobrol sebelum les
hari ini dimulai.
Hari
ini jadwal untuk belajar biologi. Satu mata pelajaran yang tidak disukai Rama.
Seperti biasa Rani telah menyediakan soal – soal latihan untuk Rama.
“Eh,,,em...Lo
manusia normal kan? Lo tuh aneh banget. Ya emang sih, status lo itu kakak kelas
gue. Jadi mungkin gue itu junior lo, dan lo senior gue. Dan senior itu selalu
harus selalu jaim, suka nyiksa junior, sok lebih pinter, lebih jago. Bener
kan?”, kata Rama panjang lebar.
“Dasar
cerewet.”, kata Rani.
“Yee...santai
dikit kenapa? Capek gue. Eh, makasih ya ulangan biologi gue waktu itu lulus
lho.”, cerocos Rama.
“Bagus
deh. Kalo lo mau ngoceh lagi, mending habis jam les ini. Oke?”, kata Rani. Rama
pun hanya diam.
***
“Itu
lukisan karya lo?”, tanya Rani sambil menunjuk lukisan seorang anak yang tengah
duduk di pinggir sungai.
“Yup.
Bagus ya?”
“Lumayan.”
“Tapi...
ortu gue gak setuju dengan itu semua.”
“Gue
udah tau dari mama lo.”
“Hm?”
“Boleh
gue kasih saran?”
“Silakan.”
“Sebenernya
lo tetep bisa menyalurkan hobi lo. Jadi, lo bisa bikin lukisan lo itu jadi
media pembelajaran biologi lo. Misalnya lo lukis pemandangan, tapi pemandangan itu memuat rantai makanan.
Nah, lo bakal gampang buat ngehafal pelajaran
tentang rantai makanan. Atau lo bisa gambar apa aja yang penting bisa memeompa
semangat belajar lo.”
“Boleh
juga ide lo. Makasih ya Ran.”
Senyum
mengembang di bibir Rama. Ia pun semakin bersemangat balajar. Anggapan mengenai
Rani seperti robot ternyata salah. Rani banyak membantu dalam meningkatkan
prestasi belajarnya. Karena Rani juga orang tua Rama berbalik mendukung hobi
Rama.
***
Gulungan
ombak menyapu bibir pantai. Rama merasa kali ini pantai lebih indah dari biasanya.
Angin laut yang berhembus kencang dan debur ombak menemani Rama menikamati sunset sore itu.
“Tuhan,
aku bersyukur atas segala karunia-Mu. Kini semua telah berubah. Terimakasih
telah menyatukan keinginanku dan keinginan orang tuaku. Dan terimakasih Engkau
telah mengirimkan Rani yang baik hati.”, kata Rama dengan rasa bahagia yang
luar biasa dihatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar