Kamis, 23 Agustus 2012

Lukisan vs Robot


 “ Lo tega banget sih? Ini gak bisa dibiarin. Heh, gue gak mau tau ya, PR gue harus lo selesein semua.”
Suara klakson motor terdengar dari dalam rumah. Beberapa detik kemudian, suara klakson itu lenyap, menandakan motor sudah menjauh dari rumah. Rani hanya bisa menghela nafas panjang. Ia segera merapikan buku – bukunya dan beranjak pulang.
Semburat merah tampak di ufuk barat. Sebentar lagi, sang raja siang akan beristirahat. Angin berhembus sejuk, gemuruh ombak menjadi melodi yang khas. Rama menghentikan langkahnya di bibir pantai. Matanya yang bening menerawang jauh kedepan.
“Tuhan, ini semua gak bakal terjadi kalo dua orang tua itu gak maksa aku buat jadi kayak mereka. Tuhan, apa aku gak boleh bahagia dengan pilihanku sendiri? Kenapa masalah ini begitu beruntun? Dan kenapa kau kirimkan si robot yang sok jenius itu dalam hidupku? Ini gak adil. Aarrrghh...”, Rama menendang gundukan pasir putih di hadapannya. Beberapa menit ia mematung di situ sebelum akhirnya kembali pulang.
“Dari mana aja kamu, heh? Dasar anak gak bisa diatur. Gimana kamu mau jadi dokter kalo kelakuanmu seperti ini?”, terdengar omelan mama saat Rama melangkah kedalam rumah. Bagi Rama, ini tak ubahnya seperti suara petasan saat penyambutan tamu. Entahlah, ia segera menuju kamar. Di tuangkannya segala emosinya dalam sebuah lukisan. Lukisan tentang seorang anak yang tengah duduk merenung di pinggir sungai.
***
Seperti biasa, sore ini Rama harus les privat dengan Rani. Hal yang sangat membosankan bagi Rama.
“Soal sebanyak ini harus gue kerjain? Gila lo!”
“Yap. Besok lo ulangan biologi kan?.”, jawabnya ringan. Ia kembali meneruskan membaca buku biologinya yang tebel banget.
Kalo aja dulu mama gak ketemu lo, pasti gak gini jadinya. Huh, kenapa juga waktu itu lo dateng ke ruang BK ? Gara – gara lo hidup gue jadi gini. Dasar robot. Bisa gak sih lo gak bikin gue stress sama soal – soal ini? Emang lo siapa sih?
Rama menggerutu dalam hati. Di lihatnya wajah Rani lekat – lekat. “Eh, mana PR gue? Udah lo kerjain semua kan?”, tanyanya.
“Nggak.”, jawabnya singkat.
“Apa? itu PR buat besok. Duh, lo...lo nyebelin. Siapa sih lo? Enak banget liat gue menderita? Ya...mungkin karena lo itu...”, belum selesai Rama bicara, tapi Rani buru – buru membereskan buku – bukunya dan bangkit dari tempat duduknya.
“Mau kemana lo?”, tanya Rama.
“Aku mau pulang. Kamu memang gak suka kan, kalo aku disini? Permisi.”
Ditinggalkannya Rama sendiri di ruang tamu tempat mereka belajar.  Rama hanya bisa melongo. 50 soal biologi dihadapannya. Baru lima yang berhasil ia kerjakan. Bagaimana mugkin ia bisa mengerjakan semuanya? Dimasukkannya soal itu kedalam mapnya. Segera ia beranjak keluar ruang tamu. Tapi tiba – tiba langkahnya terhenti. Matanya tertuju pada kertas berwarna putih yang tergeletak di dekat pintu. Di ambilnya kertas itu. Deretan huruf dan gambar memenuhi kertas itu.
“Pembahasan Soal? Jawaban PR?”, tanya Rama. Ia pun kembali duduk dan membuka kembali buku – bukunya tadi.
***
“Ram, cukup. Melukis gak akan bikin kamu pinter. Buang – buang waktu aja. Kamu harusnya belajar. Mana Rani? Kok kemarin dia pulang cepet banget? Jangan – jangan kamu ngusir dia ya?”, kata mama panjag lebar. Sementara Rama hanya terus meneruskan lukisannya.
“Rama...stop. Kuas sama cat mama sita. Mama gak mau tau, kamu harus bisa dapet nilai bagus biar kamu bisa masuk ke kedokteran.” Rama beranjak dari tempat duduknya dan menatap mamanya lekat – lekat.
“Oke. Biar mama puas.”, kata Rama sambil merobek kanvasnya.
***
Tiga hari Rani tak kerumah Rama. Hal ini tentu membuat Rama bahagia. Tak ada lagi yang membuatnya stress dengan soal – soal itu. Bebannya sedikit ringan. Tapi benarkah?
Diam – diam Rama mulai terbiasa menghadapi soal – soal yang dulu menurutnya sangat sulit. Berkat berlatih soal, ia berhasil mendapat nilai bagus waktu ulangan biologi beberapa hari lalu. PR nya juga telah diselesaikan Rani dengan baik, sehingga Rama pun terhindar dari omelan guru. Ia kangen les privat. Ia mengambil handphonenya yang tergeletak di meja.
“Ran, ini Rama. Gue mau les sekarang. Cepet dateng kerumah.”, kata Rama. Ia pun meletakkan kembali handphonenya di meja.
Tak sampai 5 menit, Rani sudah berada di rumah Rama.
“Loh, kok cepet banget? Masuk Ran, gue ambil buku dulu.”
Kali ini Rama cukup bersemangat belajar. Ia tak lagi banyak protes. Ia mulai bisa menikmati suasana belajarnya.
***
“Ran,  kenapa beberapa hari kemarin kamu gak kesini? Terus waktu hujan sore itu kamu pulan cepet banget?”, tanya mama Rama.
“Maaf Tan, Rani harus buru – buru pulang soalnya mama sakit, jadi banyak kerjaan di rumah yang harus diselesaikan. Tapi Rani akan lunasi utang – utang Rani di hari lain. Sekali lagi maaf  Tante.”, kata Rani.
“Ya sudah, gak papa. Tante kira Rama ngusir kamu. Makasih ya Ran, semoga mama kamu segera sembuh.”, ucap mama Rama. Rani dan mama Rama pun mengobrol sebelum les hari ini dimulai.
Hari ini jadwal untuk belajar biologi. Satu mata pelajaran yang tidak disukai Rama. Seperti biasa Rani telah menyediakan soal – soal latihan untuk Rama.
“Eh,,,em...Lo manusia normal kan? Lo tuh aneh banget. Ya emang sih, status lo itu kakak kelas gue. Jadi mungkin gue itu junior lo, dan lo senior gue. Dan senior itu selalu harus selalu jaim, suka nyiksa junior, sok lebih pinter, lebih jago. Bener kan?”, kata Rama panjang lebar.
“Dasar cerewet.”, kata Rani.
“Yee...santai dikit kenapa? Capek gue. Eh, makasih ya ulangan biologi gue waktu itu lulus lho.”, cerocos Rama.
“Bagus deh. Kalo lo mau ngoceh lagi, mending habis jam les ini. Oke?”, kata Rani. Rama pun hanya diam.
***
“Itu lukisan karya lo?”, tanya Rani sambil menunjuk lukisan seorang anak yang tengah duduk di pinggir sungai.
“Yup. Bagus ya?”
“Lumayan.”
“Tapi... ortu gue gak setuju dengan itu semua.”
“Gue udah tau dari mama lo.”
“Hm?”
“Boleh gue kasih saran?”
“Silakan.”
“Sebenernya lo tetep bisa menyalurkan hobi lo. Jadi, lo bisa bikin lukisan lo itu jadi media pembelajaran biologi lo. Misalnya lo lukis pemandangan, tapi pemandangan itu memuat rantai makanan. Nah, lo bakal gampang buat ngehafal pelajaran tentang rantai makanan. Atau lo bisa gambar apa aja yang penting bisa memeompa semangat belajar lo.”
“Boleh juga ide lo. Makasih ya Ran.”
Senyum mengembang di bibir Rama. Ia pun semakin bersemangat balajar. Anggapan mengenai Rani seperti robot ternyata salah. Rani banyak membantu dalam meningkatkan prestasi belajarnya. Karena Rani juga orang tua Rama berbalik mendukung hobi Rama.
***
Gulungan ombak menyapu bibir pantai. Rama merasa kali ini pantai lebih indah dari biasanya. Angin laut yang berhembus kencang dan debur ombak menemani Rama menikamati sunset sore itu.
“Tuhan, aku bersyukur atas segala karunia-Mu. Kini semua telah berubah. Terimakasih telah menyatukan keinginanku dan keinginan orang tuaku. Dan terimakasih Engkau telah mengirimkan Rani yang baik hati.”, kata Rama dengan rasa bahagia yang luar biasa dihatinya. 

when you walk in this way

Di persimpangan jalan kau bersimpuh
ini bukan awal juga bukan akhir
kau tengok kanan kiri lalu menatap ke depan
kau pikir itu jalan buntu
tapi dengar sisi relung hatimu
kau akan jauh tersesat dan remuk
kalau kau tak menjelajahnya

Tertatih kau menapaki
bermandikan peluh
memaksa otot - ototmu yang kekar untuk terus berkontraksi
kerikil memenuhi jalan sering menyayat telapak kakimu
dan matahari yang memanggangmu hidup - hidup
Ataupun tetes hujan yang mengguyurmu tanpa ampun

Saat itulah kau buka kelopak mata lebar - lebar
slalu ada permata, slalu ada kejora
kalau kau tahu, lebih tepatnya mau tahu.

Senin, 06 Agustus 2012

I found you deep inside

jikalau malam mengukung kita di dua sisi
sementara waktu mengunci kita dalam satu dimensi
maka lihatlah angkasa

gemerlap cahaya kota tua
ataupun gemerlapnya permata di atas sana
bagiku sama saja

ku acungkan jari ini
dan mulai ku rangkai namamu dengannya
aku bisa lihat wajahmu
yang memantul lewat jernihnya samudra

lalu sejenak pejamkan mata
di sanalah aku bisa menemukanmu
yang sesungguhnya

Kamis, 02 Agustus 2012

January after school

kau berangkat dengan baju tanpa lengan
dipadu dengan celana selutut
ditambah sepatu karet favorit

tak peduli seterik apa mentari
acuhkan tetes air membasahi bumi
kala terang ataupun gelap

kau terus berlari
seakan terdorong angin
hingga menembus benteng

kau yang serius
pada satu titik, satu tujuan
membunuh lawan tanpa ampunan

saatnya peluru di tangan
siap kau lepaskan
dengan satu lecutan

badan pun basah
karena derasnya peluhmu

kau tetap mengunci semua
rasa dalam manisnya legawa